Gozabak.com|Rencana pemerintah membuka 20 juta hektar kawasan hutan untuk kebutuhan pangan dan energi berpotensi menimbulkan berbagai dampak buruk. Kebijakan ini dikritik kalangan masyarakat sipil seperti Walhi, FWI, YLBHI, Aman, Fian Indonesia, Trend Asia, Indonesian Parliamentary Center, Icel, Greenpeace dan lainnya.
Manajer Kampanye Hutan dan Kebun Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi), Uli Arta Siagian, mewakili koalisi menegaskan; sejak awal masyarakat sipil menolak rencana ini dan memberikan sejumlah catatan kepada pemerintah.
Kebijakan pembukaan pembukaan lahan hutan untuk pangan dan energi ini diyakini mempercepat proses penggundulan hutan (deforestasi), memicu konflik yang dibarengi intimidasi dan kriminalisasi kepada masyarakat dan bencana hidrometeorologi.
“Walau pemerintah mengklaim ini tidak mengancam hutan (deforestasi), tapi kami punya data yang membantah itu,” katanya dalam rapat dengar pendapat umum dengan Komisi IV DPR, senin (18/02/2025).
Sampai saat ini pemerintah tidak merinci kawasan yang akan masuk dalam target pembukaan lahan seluas 20 juta hektar itu. Uli mencatat; secara umum pemerintah menyebut wilayah yang akan digunakan yakni kawasan hutan yang belum dan sudah dibebani izin.
Terdiri dari 15,53 juta hektar diambil dari kawasan hutan lindung dan produksi yang belum dibebani izin. Ditambah 3,17 juta hektar kawasan hutan yang telah dibebani izin Perizinan Berusaha Pemanfaatan Hutan (PBPH) yang tidak aktif dan potensial dicabut serta 1,9 juta hektar dari lahan perhutanan sosial.
Koalisi mencatat kebijakan ini sedikitnya berdampak terhadap 5 hal. Pertama, meningkatkan laju deforestasi. Data FWI tahun 2025 menunjukkan hutan alam yang tersisa 80,1 juta hektar. Dari jumlah itu hutan konservasi yang berfungsi sebagai kawasan perlindungan keanekaragaman hayati tersisa 16,2 juta hektar, hutan lindung yang memiliki peran ekologis dalam menjaga keseimbangan lingkungan 22,3 juta hektar. Serta hutan produksi yang selama ini mengalami berbagai bentuk eksploitasi 41,5 juta hektar
Masih dari data FWI, Uli menjelaskan kurun waktu 2017-2021 luas hutan yang mengalami deforestasi lebih dari 324 ribu hektar. Jumlahnya meningkat sampai 2022 tercatat hutan yang hilang lebih dari 19 ribu hektar. Deforestasi terus melaju sampai 2023 mencapai lebih 8 ribu hektar.
Pemerintah akan mengubah 20,6 juta hektar kawasan hutan menjadi lahan pertanian demi mempercepat swasembada pangan pada 2027. Dalam 100 hari kerja di bawah komando Presiden Prabowo Subianto, Menteri Kehutanan Raja Juli Antoni mengumumkan telah mengidentifikasi kawasan hutan Indonesia seluas 20,6 juta yang berpotensi menjadi cadangan pangan hingga energi.
Kedua, bertentangan dengan komitmen iklim. Uli menghitung membuka 4,5 juta hektar hutan alam akan melepaskan 2,59 miliar ton emisi karbon.
Rencana ini tak selaras komitmen global Indonesia dalam perlindungan keanekaragaman hayati, pengurangan emisi melalui skema Nationally Determined Contributions (NDC), serta pengakuan dan perlindungan Masyarakat Adat sebagaimana diamanatkan dalam Konvensi Keanekaragaman Hayati (CBD).
“Rencana ini juga bertolak belakang dengan kebijakan yang dibuat oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan sendiri terkait FoLU Net Sink 2030, yang seharusnya menargetkan pengurangan emisi dari sektor kehutanan dan lahan,” ujar Uli.
Ketiga, konflik, perampasan wilayah adat dan bencana ekologis. Membuka 20 juta hektar hutan berpotensi menimbulkan pelanggaran hak masyarakat hukum adat setempat. Dari 30,1 juta hektar wilayah yang dipetakan masyarakat adat sebanyak 23,8 juta hektar berada dalam klaim kawasan hutan negara. Hutan adat yang telah dikembalikan kepada masyarakat hukum adat jumlahnya sangat sedikit, hanya 265 ribu hektar.
Konflik yang dibarengi dengan kekerasan dan kriminalisasi juga akan muncul. Uli menyebut periode 2014-2024 sedikitnya 1.131 orang mengalami kekerasan dan kriminalisasi bahkan beberapa tewas karena memperjuangkan hak atas tanah, hutan, dan lingkungan hidup. Kerusakan lingkungan menimbulkan bencana yang berdampak pada kerugian negara, periode 2015-2022 kerugiannya mencapai lebih dari Rp101 triliun.
Keempat, potensi kerugian negara. Menurut Uli hutan alam seluas 1 hektar diperkirakan mampu menyimpan 150 meter kubik kayu komersial. Rencana pembukaan lahan ini diperkirakan menyimpan 600 juta meter kubik dengan harga minimum Rp5 juta per meter kubik. Nilai ekonomi kayu yang dihasilkan bisa mencapai Rp3 ribu triliun.
Kelima, berpotensi menimbulkan pelanggaran HAM berat berupa penyingkiran paksa masyarakat lokal atau adat.
Diperparah dengan penempatan aparat militer seperti yang dilakukan pada berbagai proyek swasembada pangan pemerintah. Tak sekedar di sektor pangan, militerisasi juga berlangsung di sektor hutan melalui Perpres No.5 Tahun 2025 tentang Penertiban Kawasan Hutan.
“Kami khawatir Perpres ini dipakai untuk masyarakat adat dan komunitas lokal yang selama ini yang hidup di dalam atau sekitar kawasan hutan. Atas nama penertiban, mereka diusir dari wilayah adat dan wilayah kelolanya, lalu wilayah tersebut dialokasikan untuk membangun swasembada pangan dan energi,” urainya.
Desak hentikan
Kepada pemerintah dan DPR Uli mendesak rencana pembukaan 20 juta hektar lahan untuk cadangan pangan dan energi itu dihentikan. Membuka akses dan partisipasi bagi masyarakat luas terkait dengan rencana-rencana pembangunan yang mencerminkan transparansi pengelolaan sumber daya alam. Menyediakan ruang informasi yang aman dan akuntabel sebagai landasan dalam membuka akses dan partisipasi terkait dengan pembangunan dan pengelolaan sumber daya alam.
Pemerintah dan DPR diminta mempercepat dan memperluas pengakuan hak masyarakat adat dan komunitas lokal atas wilayahnya, pengetahuan dan cara tradisional mereka dalam mengelola, melindungi dan menghasilkan pangan. Melakukan pengawasan secara terpadu sebagai langkah preventif untuk mencegah terjadinya berbagai penyimpangan (baik secara moral maupun legal) maupun serampangan terhadap pengelolaan sumber daya alam.
Memastikan operasional hak atas pangan dan gizi sesuai dengan kerangka normatif hak asasi manusia. Merespons pencabutan 18 PBPH dengan luas total lahan 526.144 hektar oleh Menteri Kehutanan yang berpotensi digunakan untuk ketahanan pangan dan energi, Uli mendesak pemerintah mempublikasi belasan izin yang dicabut itu. Serta tidak menerbitkan persetujuan pelepasan kawasan hutan dan/atau menerbitkan perizinan/persetujuan yang akan berimplikasi pada deforestasi hutan alam.
Eksplorasi konten lain dari gozabak.com
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.