Raksasa di Balik Galon Air Minum Kemasan: Liabilitas Komersial yang Tak Pernah Diaudit, Publik Berhak Tahu
Jakarta – Kalau bicara air minum dalam kemasan, nama “galon isi ulang” sudah jadi bagian dari rumah tangga Indonesia sejak awal 2000-an. Tapi di balik botol biru transparan itu, ada satu catatan keuangan buram: dana jaminan galon. Dana ini dikutip dari jutaan konsumen, disebut “uang titipan”, tapi tak pernah jelas di mana posisinya di laporan keuangan industri air minum.
Awal mula dan struktur perizinan
Sejak 1980-an, industri air minum dalam kemasan (AMDK) tumbuh cepat. Produsen besar seperti Aqua (Danone), Le Minerale, Cleo, Club, hingga Nestlé Pure Life beroperasi dengan izin industri dari Kementerian Perindustrian, lengkap dengan sertifikasi SNI, izin edar BPOM, AMDAL, dan sertifikat halal.
Namun, tak satu pun regulasi yang secara eksplisit mengatur bagaimana uang jaminan galon yang ditarik dari konsumen, itu harus dikelola, dilaporkan, atau diaudit. Inilah celah regulasi yang membuka peluang liabilitas senyap senilai triliunan rupiah.
Estimasi konservatif dan koreksi realistis
Tak banyak yang sadar, setiap kali kita beli air galon isi ulang, kita sebenarnya sedang menitipkan uang ke perusahaan air minum dalam kemasan. Besarannya tampak kecil, tapi kalau dikumpulkan selama dua dekade terakhir, nilainya sudah mencapai triliunan rupiah, uang rakyat yang tersimpan tanpa mekanisme pengembalian yang jelas.
Berdasarkan data emiten, survei industri, dan laporan tahunan, estimasi volume galon aktif di Indonesia jauh lebih rendah dari angka-angka yang beredar di publik, jumlah realistisnya sekitar 44–50 juta unit. Sehingga berikut estimasi total uang jaminan yang pernah dihimpun, mari kita hitung perlahan.
Pada tahun 2000, sekitar 10 juta galon beredar di pasar. Setiap galon dikenakan uang jaminan Rp25.000. Artinya, ada Rp250 miliar uang masyarakat yang tertahan. Lima tahun kemudian, di 2005, jumlah galon melonjak menjadi 25 juta unit, dengan uang titipan Rp30.000 per galon. Totalnya sudah Rp750 miliar.
Masuk 2010, pasar makin tumbuh, ada 35 juta galon, dengan titipan Rp35.000, menghasilkan akumulasi Rp1,225 triliun.
Tahun 2015, galon beredar 44 juta unit, uang jaminan naik jadi Rp40.000, dan nilainya mencapai Rp1,76 triliun.
Lalu 2020, jumlah galon masih di angka 44 juta, tapi titipan naik jadi Rp45.000, total Rp1,98 triliun.
Dan pada 2024, angka itu makin besar, yaitu Rp50.000 per galon dikali 44 juta unit, hasilnya Rp2,2 triliun.
Artinya, selama 25 tahun, uang “titipan galon” terus tumbuh tanpa ada sistem akuntabilitas yang terbuka. Tak ada laporan resmi di mana dana ini disimpan, siapa yang mengelola, atau bagaimana nasibnya bila konsumen berhenti menggunakan galon.
Padahal konsep awalnya sederhana, “bahwa uang itu hanya jaminan, bukan modal abadi bagi produsen“.
Indonesian Audit Watch menilai, praktik semacam ini adalah anomali bisnis yang bisa dikategorikan sebagai “liabilitas tersembunyi”. Jika uang konsumen masih tercatat sebagai titipan, maka perusahaan wajib menempatkannya dalam laporan keuangan dan siap mengembalikannya kapan pun diminta. Namun faktanya, hampir semua perusahaan air kemasan menganggap uang ini “mengalir begitu saja”.
Bila benar dana itu masih dipegang produsen, berarti ada potensi akumulasi dana publik senilai triliunan rupiah yang tidak tercatat di neraca resmi. Bila tidak, siapa yang menikmatinya?
Inilah saatnya audit menyeluruh dilakukan, itu bukan hanya soal air, tapi soal etika bisnis dan tanggung jawab akuntansi kepada masyarakat.
Total akumulasi bruto (2000–2024) ada sekitar Rp 29,3 triliun. Namun dana sebesar itu tidak tercatat secara transparan, dan tidak pernah diaudit secara tematik oleh BPK atas kementerian-kementerian yang terkait. Dalam laporan keuangan, pos ini hanya muncul samar sebagai refundable deposit, itu tanpa aging analysis atau audit publik.
Temuan BPK yang relevan
Selama dua dekade terakhir, beberapa laporan BPK menyinggung sektor ini, walau tak langsung ke pos “uang jaminan”:
1. LHP BPK tahun 2018 menemukan lemahnya pengawasan depot AMDK ilegal.
2. LHP BPK 2020: ada ketidakpatuhan terhadap standar kemasan pangan.
3. LHP BPK 2022 temuan lemahnya pengelolaan limbah plastik dan labelisasi
Tapi sampai kini, belum ada audit tematik BPK terhadap liabilitas jaminan konsumen di industri AMDK.
Red flag dari perspektif audit forensik
Bahaya 1, Rasio liabilitas tak wajar, analisis laporan keuangan emiten menunjukkan rasio refundable deposit terhadap pendapatan mencapai 15–25%, padahal ambang normal industri hanya 5–10%. Indikasinya, dana jaminan digunakan untuk kebutuhan operasional, bukan disimpan secara terpisah.
Red Flag 2, Pengembalian tak standar ditemukan berdasar survei BPKN (2023) mencatat 65% konsumen tidak menerima bukti titipan, dan 45% mengalami kesulitan saat meminta pengembalian. Ini melanggar pasal 4 dan 19 UU Perlindungan Konsumen.
Tanda bahaya 3 , Pelaporan tidak seragam, terlihat perusahaan terbuka mencatatnya di liabilitas jangka pendek, sedangkan depot dan perusahaan tertutup tidak mencatat sama sekali.
Celah regulasi dan tata kelola
Temuan BPK dari tahun 2019–2022 memperlihatkan tumpang tindih kewenangan antar instansi:
1. Kemenperin mengurus izin industri.
2. Kemendag menangani perdagangan dan perlindungan konsumen.
3. Kemenkes soal kesehatan air.
4. KLHK (sekarang KL) tentang limbah plastik.
Namun tidak ada satu pun yang mengawasi dana jaminan konsumen. Akibatnya, dana titipan senilai puluhan triliun rupiah mengendap di neraca korporasi tanpa transparansi.
*Analisis hukum dan perlindungan konsumen*
Menurut UU No. 8 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, pelaku usaha wajib:
1. Memberikan informasi yang benar dan jujur sesuai pasal 4c.
2. Mengembalikan atau mengganti apabila terjadi kerugian (pasal 7b).
3. Menjamin pengaduan dan kompensasi sesuai pasal 19.
Kenyataannya, mayoritas konsumen tidak memiliki bukti legal atas uang titipan mereka. Jika diuji di pengadilan, ini memenuhi unsur class action karena terdapat kesamaan peristiwa hukum dan kerugian massal.
Rekomendasi strategis IAW
Rekomendasi 1 , dilakukan audit tematik oleh BPK berdasarkan pasal 9 UU BPK No. 15/2006. Perlu dilakukan audit kinerja dan audit dengan tujuan tertentu terhadap pengelolaan dana jaminan galon. Fokusnya:
– Pengelolaan liabilitas jaminan.
– Kepatuhan terhadap UU Perlindungan Konsumen.
– Potensi kebocoran pajak.
Rekomendasi 2, terbit regulasi terpadu lintas Kementerian, IAW mendorong terbentuknya paket regulasi terpadu, terdiri dari:
– Permendag: nota titipan digital dan batas waktu refund.
– Permenkeu: escrow account untuk jaminan konsumen.
– POJK: kewajiban emiten mengungkap aging analysis refundable deposits
Rekomendasi 3, terapkan Sistem Nasional Pelacakan Galon (SISPEGALON) berupa:
– QR code pada setiap galon untuk pelacakan real-time.
– Escrow account terpusat di bawah OJK.
– Sistem refund otomatis berbasis digital
Roadmap reformasi 2025–2026
– Tahap 1 (2025) audit pendahuluan dan harmonisasi regulasi.
– Tahap 2 (2026): lahir pilot project digitalisasi nota titipan di lima kota besar.
– Tahap 3 (Akhir 2026) implementasi penuh dan pengawasan lintas kementerian.
Penutup
Dana jaminan galon mungkin tampak sepele, yakni hanya Rp50 ribu per rumah tangga. Tapi jika dikumpulkan selama 20 tahun dari puluhan juta konsumen, nilainya mencapai puluhan triliun rupiah. Tanpa transparansi, tanpa audit, dan tanpa akuntabilitas, skema ini berubah dari “uang titipan” menjadi liabilitas tersembunyi industri air minum nasional.
Indonesian Audit Watch menegaskan: “Kalau BPK bisa mengaudit APBN dan APBD, maka sudah saatnya BPK juga mengaudit uang yang dikutip dari rakyat, meski lewat botol & galon.”
Oleh Iskandar Sitorus, Sekretaris Pendiri Indonesian Audit Watch (IAW)
